Jumat, 23 Desember 2011

OBYEK MANUSIA DALAM BERFILSAFAT

MAKALAH FILSAFAT ILMU

OBYEK MANUSIA DALAM BERFILSAFAT
Tugas Individu

MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU
DOSEN PEMBINA: Prof. Dr. Singgih Iswara M.M.




OLEH
SEBINUS JELAHU
NPM; 100401060197

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KANJURUAN MALANG
 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah  yang berjudulObyek Manusia Dalam Berfilsafat”,tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai wacana untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Singgih Iswara M.M. selaku Dosen Pembina mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan perhatian dan waktunya dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan  makalah ini. Tak lupa juga Penulis mengucapkan terima kasih kepada Teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Akhirnya penulis mengucapkan selamat membaca semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.


Malang, 21 juni 2010


Penyusun














DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar …………….…………...……………………………………………………... ii
Dartar Isi ………………………………………………………………………………………. iii

BAB I   PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang ……………………………………………………………………   1
1.2    Rumusan Masalah ………………………………………………………………...   2
1.3    Tujuan Penulisan ….………………………………………………………………   2
1.4    Pembatasan Masalah ……………………………………………………………...   2
BAB II KAJIAN YEORI
              2.1  Teori Tentang Obyek Filsafat …………………………………………………….   3
              2.2  Teori Tentang Filsafat Ilmu ……………………………………………………….  3
              2.3  Teori Tentang Filsafat Pendidikan ………………………………………………..  4
              2.4  Teori Tentang Peranan Filsafat …………………………………………………...  4
              2.5  Teori Tentang Kegunaan Filsafat …………………………………………………  4
BAB III  PEMBAHASAN
               3.1  Manusia dan Ilmu Pengetahuan …………………………………………………..  3
   3.2  Oyek Material dan Obyek Formal Dalam Ilmu Pendidikan ……………………..   4
            3.2.1  Obyek Material …………………………………………………………..   5
            3.2.2  Obyek Formal ……………………………………………………………   6
   3.3  Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal……………………………………   8
   3.4  Metode Filsafat……………………………………………………………….…..   9
   3.5  Pembagian (cabang-cabang) Filsafat…………………………………………….. 10
BAB IV  PENUTUP                                           
               3.1  Kesimpulan………………………………………………………………………. 15
               3.2  Saran …………………………………………………………………………….. 15

Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN                                                                                              
1.1  Latar Belakang Masalah
Manusia dikenal sebagai makhluq berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluq lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada pengetahuan.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama, yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, kemampuan berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu. Kedua faktor diatas sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya kerangka fikir. Kerangka fikir akan terstruktur ketika obyek dari apa yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
1.      Adanya aktifitas berfikir, meneliti dan menganalisa.
2.      Adanya metode tertentu dan sistematika tertentu.
3.      Adanya obyek tertentu.
Berpikir, meneliti dan menganalisa adalah proses awal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan berpikir, seseorang sebenarnya tengah menempuh satu langkah untuk medapatkan pengetahuan yang baru. Aktivitas berpikir akan membuahkan pengetahuan jika disertai dengan meneliti dan menganalisa secara kritis terhadap suatu obyek.
Obyek tertentu merupakan syarat mutlak dari suatu ilmu. Karena obyek inilah yang menentukan langkah-langkah lebih lanjut dalam pengupasan lapangan ilmu pengetahuan itu. Tanpa adanya obyek tertentu maka dapat dipastikan tidak akan adanya pembahasan yang mapan.
Metode merupakan hal yang sama pentingnya dalam lapangan ilmu pengetahuan. Tanpa adanya metode yang teratur dan tertentu, penyelidikan atau pembahasan kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan. Dari segi metode inilah akan terlihat ilmiah tidaknya suatu penyelidikan atau pembahasan itu.
1.2  Rumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan mengenai ilmu pengetahuan sangatlah luas. Seperti:
·         Aktivitas berpikir seperti apakah yang dapat menimbulkan ilmu pengetahuan?
·         Apakah yang menjadi obyek dalam ilmu pengetahuan?
·         Metode dan analisis yang bagaimana yang memenuhi standar dapat diterimanya conclusi seseorang sebagai ilmu pengetahuan?
·          Apakah syarat dapat diterimanya seseorang sebagai ilmuwan?
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kita bisa mengerti megenai apa itu obyek material dan apa itu obyek formal.
1.4  pembatasan masalah
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai apa yang menjadi obyek ilmu pengetahuan. Penulis akan lebih memfokuskan pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan.


BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Teori Tentang Obyek Filafat 
Untuk membahas objek studi formal dan material dalam filsafat, perlu dikaji terlebih dahulu makna filsafat itu. Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosopy, sedangkan dalam bahasa Yunani yaitu philein (cinta) atau philos (mencintai, menghormati, menikmati) dan sophia atau  sofein (kehikmatan, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan atau kejernihan). Dengan demikian, secara etimologis, filsafat atau berfilsafat berarti mencintai, menikmati kebijaksanaan atau kebenaran (Wiramihardja, 2007).  Menurut Keraf  (2001) secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebenaran; suatu dorongan terus menerus, suatu dambaan untuk mencari dan mengejar kebenaran.
Filsafat adalah sebuah sistem pemikiran, atau cara berpikir yang terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan  kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan pernyataan (Keraf, 2001). Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat adalah berpikir (Wiramihardja, 2007). Menurut Langeveld (dalam Wiramihardja, 2007), filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Jika dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan tujuan menemukan hakikatnya.  Hakikat adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar.
2.2  Teori Tentang Filsafat Ilmu
Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.

2.3  Teori Tentang Filsafat Pendidikan
Menurut Drs. Suyadi MP dan Drs. Sri suprapto widodonongrat ciri filsafat adalah menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Sedangkan Sunoto menyebutkan ciri-cirinya adalah deskriptip, kritik atau analitik, evaluatif atau normativ, spekulatif dan sistematik.

2.4  Teori Tentang Peranan filsafat
Berabad-abad lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos dan mite. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama dan kehadiran filsafat telah mendobrak pintu dan tembok tradisi yang begitu sakral yang selama itu tidak boleh digugat. Kendati pendobrakan itu membutuhkan waktu yang cukup panjang, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.

Filsafat bukan hanya sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu melainkan juga merenggut manusia keluar dari penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikiryang mistis dan mitis.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistik mitis denganmembimbing manusiauntuk berpikir secara rasional. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan membbimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam.

2.5 Teori Tentang Kegunaan filsafat
Pada umumnya dapat dikatakan bahawa dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani berbagai pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk mendalami  berbagai pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya. Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur yakni secara sistematis dan historis.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Manusia dan Ilmu Pengetahuan
Benarkah bahwa semakin kita bertambah cerdas maka semakin pandai kita menemukan  kebenaran? Apakah manusia yang memiliki penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah sebaliknya, makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta?.
Demikianlah beberapa pertanyaan yang diajukan Jujun S Suriasumantri dalam bukunya: Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pertanyaan ini beliau ajukan dalam mukadimahnya mengenai ilmu dan moral.
Tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah.
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab, pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu, agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal, maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan yang mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan. Untuk itulah kita perlu mengetahui apa yang menjadi obyek material dan obyek formal suatu ilmu pengetahuan.


3.2 Obyek Material dan Obyek Formal Ilmu Pengetahuan
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) apa dan siapakah manusia ?, dan 2) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : kebenaran, materi, pikiran, hubungan antara materi dan pikiran, ruang dan waktu, sebab-sebab, kebebasan, serba tunggal lawan serba jamak, Tuhan.
Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal).
No problem, no science. Ungkapan Archi J Bahm ini seolah sederhana namun padat akan makna. Dari ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwa ilmu pengetahuan muncul dari adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan, menurut Bahm, diperoleh dari pemecahan suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika ilmiah.
Permasalahan merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Permasalahan apa yang coba dipecahkan atau yang menjadi pokok bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan.
Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: Obyek material dan obyek formal.
Menurut Drs. H.A.Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
·         Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
·         Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
3.2.1 Obyek Material
Yang disebut obyek material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian ilmu. Sedangkan menurut Surajiyo dkk. obyek material dimaknai dengan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-materil. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Misal: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir merupakan obyek material logika.
Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu, Hakekat Tuhan, akekat Alam dan Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat.Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini dibedakan atas dua arti, yaitu:
Pokok persoalan ini dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual. Misalnya: penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika; penyelidikan tentang chlorophyl termasuk penelitian bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.
Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Misalnya: anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dikatakan berbeda. Perbedaaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.
2.2.2 Obyek Formal
Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Obyek formal diartikan juga sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material itu disorot. Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, tujuan pengetahuan sudah ditentukan.
Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, misalnya apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah, dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Aristoteles (dalam Sudrajat, 2008) memberikan suatu klasifikasi berdasarkan objek formal. Ia membedakan antara ilmu teoritis (spekulatif), praktis, dan poietis (produktif). Perbedaanya terletak pada tujuannya masing-masing. Ilmu teoritis bertujuan bagi pengetahuan itu sendiri, ialah untuk keperluan perkembangan ilmu, misalnya dalam hal preposisi atau asumsi-asumsinya. Ilmu teoritis mencakup fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu praktis, ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran bagi perbuatan kita, termasuk di dalamnya adalah etika, ekonomia, dan politika. Poietis, ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil karya, alat dan teknologi. Ada perbedaan esensial di antaranya, yaitu ilmu praktis bersangkutan dengan penggunaan dan pemanfaatannya, sedangkan poietis bersangkutan dengan menghasilkan sesuatu, termasuk alat yang akan digunakan untuk penerapan.
Berdasarkan taraf abstraksinya ilmu teoritis dibagi menjadi tiga jenis. Taraf pertama, abstraksi dilakukan terhadap individualitas gejala atau kenyataan sehingga ketika berbicara tentang rumah dan manusia, yang tinggal hanya rumah atau manusia pada umumnya. Abstraksi pada taraf kedua meninggalkan kuantitas serta menimbulkan matematika yang mencakup geometri (ilmu ukur), serta aritmatika (ilmu hitung). Abstraksi pada taraf ketiga menghasilkan sesuatu yang tidak bermateri (immaterialitas) yang dipelajari dalam metafisika. Kenyataan itu ditinjau dari sudut universalitas, kuantitas, dan immaterialitas yang berarti berdasarkan objek formal.
Contoh objek material dalam ilmu matematika yaitu tentang bilangan, sedangkan objek formal yaitu penggunaan dari lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran. Filsafat membahas bilangan sebagai objek studi material artinya filsafat menjadikan bilangan sebagai objek sasaran untuk menyelidiki ilmu tentang bilangan itu sendiri. Objek material filsafat ilmu bilangan adalah bilangan itu sendiri. Bilangan itu sendiri dimulai dari yang paling sederhana, yakni bilangan asli, bilangan cacah, kemudian bilangan bulat, dan seterusnya hingga bilangan kompleks.
Sebagai objek formal filsafat, bilangan dikaji hakikat atau esensinya. Pengkajian filsafat tentang bilangan misalnya mengenai apa hakikat dari bilangan itu, bagaimana merealisasikan konsep bilangan yang abstrak menjadi riil atau nyata, bagaimana penggunaan bilangan untuk penghitungan dan atau pengukuran.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
3.3 Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal          
Persoalan-persoalan umum (implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan dalam bidang ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:
Sejauh mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing ilmu khusus itu, dari mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana harus berhenti.
Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya.
Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.
Apakah persoalan kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu ke-alam-an juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
3.4 Metode Filsafat
Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri. Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adlah sebagai berikut:
a.       Metode Kritis : Socrates dan plato
Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang di kemukakan orang. Merupakan hermeneutika, yangmenjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya di temukan hakikat.


b.      Metode Intuitif : Plotinus dan bergson
Dengan jalan metode intropeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol di usahakan membersihkan intelektual (bersama dengan pencucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan bergson dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
c.       Metode Skolastik : aristoteles, thomas aquinas, filsafat abad pertengahan.
Metode ini bersifat sintetis-deduktif dengan bertitik tolak dari defenisi-defenisi atau prindip-prinsip yang jelas dengan sendirinya di tarik kesimpulan-kesimpulan.
d.      Metode Geometris : rene descartes dan pengikutnya
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.
e.       Metode fenomenologis : Husserl, Eksistensialisme
Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni.
Fenomelogi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau yang membicarakan gejala.  Hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan dan menurut Husserl ada tiga macam reduksi yaitu:
·         reduksi fenomologis,
·         Reduksi eidetis.
·         Reduksi transendental
f.       Metode analitika bahasa : Wittgenstein
Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini di nilai cukup netral sebab tidak sama sekali mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya adalah semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa di dasarkan kepada penelitian bahasa yang logis.

3.5  Pembagian ( cabang-cabang) filsafat
Pembagian secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kelompok, yakni filsafat sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat sistematis bertujuan dalam pembentukan dan pemberian landasan pemikiran. Didalamnya meliputi logika, metodelogi, epistimologi, filsafat ilmu, etika, estetika metafisika, teologi (filsafat ketuhanan),  filsafat manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat sejarah, hukum, komunikasi dan lain-lain.
Adapun sejarah filsafat adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran filsafat sepanjang masa. Sejak zaman kuno hingga zaman modern, bagian ini meliputi sejarah filsafat yunani (barat), india, cina dan sejarah filsafat islam.
Berikut ini pengertian ari cabang-cabang filsafat yang utama:
·         Logika
Logika, adalah cabang filsafat yang menyelildiki lurus tidaknya pemikran kita. Lapamngan dalam logika adlah asa-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat. Dengan mempelajari logika diharapkan dapat menerapkan asas bernalar sehingga dapat menaarik kesimpulan dengan tepat.
·         Metafisika
Metafisika, adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada atau membicarakan sesuatu di sebalik yang tampak. Persoalan metafisis di bedakan menjadi tiga yaitu ontologi, kosmologi dan antropologi.
                                                                       BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Dewasa ini, corak dan ragam ilmu pengetahuan sangatlah banyak. Corak dan ragam yang berbeda-beda ini timbul karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami obyek ilmu pengetahuan.
Obyek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Inti pembahasan atau pokok persoalan dan sasaran material dalam ilmu pengetahuan sering disebut sebagai obyek material ilmu pengetahuan. Sedangkan cara pandang atau pendekatan-pendekatan terhadap obyek material ilmu pengetahuan biasa disebut sebagai obyek formal.
Dari berbeda-bedanya obyek ilmu pengetahuan ini, timbullah ragam dan corak ilmu pengetahuan. Dengan mengetahui obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui bidang keilmuan apakah yang dimungkinkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang kita miliki.








DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Ahmad. 1999. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Bahm, Archi J. 1980. What is Science?. New Mexico: Al-buquerque.
Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Suriasomantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mustansyir, R dan Munir M. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Dosen Filsafat UGM. 2003. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.